DIA, IBUKU

“Kami bukanlah manusia suci, kami hanyalah manusia biasa, namun jika kau mengenalku atau saudaraku sebagai orang yang baik, maka semua itu salah ibuku. Ibuku yang membuat kami baik dan itu baik untuk kami dan baik untuk orang – orang disekitar kami. Maka ketika aku melakukan kebaikan padamu, janganlah kau hanya berterima kasih padaku, tapi berterima kasihlah juga padanya, karena dialah aku mampu menjadi baik.”

Ibuku, seperti wanita kebanyakan yang telah mempunyai tiga orang anak. Dia bertubuh gemuk dengan perutnya yang berlemak, dimana dulu sewaktu kecil aku selalu berpikir bahwa ia sedang mengandung dan adik bayi itu ternyata hanya gumpalan lemak yang tidak akan pernah lahir. Di wajahnya tampak sedikit keriput yang ditutupi sempurna dengan make up yang masih memperlihatkan sisa-sisa gadis idaman para pria pada masanya. Yah, kuakui bahwa ibuku masih terlihat cantik diusianya yang ke enam puluh satu ini dan aku selalu berharap ketika tua nanti aku akan seperti dia, tetap dikagumi, hehe, berharap boleh kan….

Gerak gerik ibuku selalu saja menjadi hal menarik bagi kami anak-anaknya. Mata kami, telinga kami, mulut kami dan pikiran kami tidak akan pernah diam ataupun tertutup ketika itu menyangkut ibuku. Tingkah polanya yang lucu selalu mampu membuat kami tertawa disaat kami sedih, bahkan ketika kami curhat mengenai patah hati, dia bisa menjadi badut terlucu untuk kami. Ah, tidak, jangan kalian pikir karena dia lucu maka ia tidak pernah marah, salah besar kalau kalian berpikir seperti itu. Ibuku itu manusia, manusia normal yang bisa tertawa, sedih dan marah. Dia akan sangat marah sekali kalau kami tidak disiplin, malas belajar, atau berantem satu dengan lainnya hanya karena mainan atau makanan. Pernah suatu kali dia melempar tas dan sepatu sekolahku kehalaman rumah karena aku tidak meletakkan tas dan sepatu itu pada tempatnya dan malah pergi bermain bersama teman-teman disekitar rumahku. Kejam ya, ya pikirku saat itu. Tapi aku lupa sudah berapa kali aku melakukan itu, sudah berapa kali juga ibuku memperingatkan aku untuk merapihkan barang –barang itu, dan itu merupakan cara terakhir yang digunakan ibuku untuk membuat efek jera padaku, dan sayangnya, itu berhasil. Namun dibalik galaknya ibuku, ibuku sangat memikirkan aku yang pelupa. Ia rela merogoh koceknya lebih banyak untuk mengontrak rumah dekat sekolahku supaya aku tidak ketinggalan tas sekolah atau sepatu lagi (this is truly happened to me, bingung kan, sama aku juga).

Ketika masa-masa remaja dimana biasanya terjadi pemberontakan, sebagai remaja normal dan gaul akupun mengalaminya. Ibuku menjadi satu-satunya musuh terbesarku yang akan melarang semua hal yang aku ingin lakukan. Dia menjadi lawan debat setiaku saat itu. Selalu saja apa yang aku lakukan salah dimata dia, selalu saja ada komentar yang keluar dari mulutnya mengenai dandananku, selalu saja dia ingin tahu atas semua kegiatanku, teman-temanku atau kehidupan sekolahku. Tiba-tiba dia bisa menjadi seorang detektif handal yang tahu dengan siapa aku dekat, kapan aku berencana nonton bioskop, kemana aku pergi atau curhatan apa saja yang aku bicarakan dengan sahabat-sahabatku. Ah, momen paling menyebalkan menurutku, seakan ada cctv mengikuti aku. Ayolah ma, aku kan bukan anak kecil lagi, aku sudah 17 belas tahun, sudah besar, sudah punya KTP, aku sudah tau mana yang baik mana yang jahat. Baiklah, aku menang, mama mengalah memberikan aku sedikit kebebasan, dan aku merasa bahagia. Sementara… ya, bahagia sementara, sampai teman-temanku menyakitiku, kekasihku ternyata mengkhianati aku. Aku perlu mamaku, dan dia ada, dia selalu ada disana, duduk di kursi kesayangannya sambil membaca buku – buku resep masakannya. Aku menghampirinya malu, dia tersenyum dan memelukku tanpa bertanya tanpa berkata, dia hanya memelukku dan membelai lembut kepalaku. Ah, hangatnya pelukan ini.

Pada saat SMP kelas tiga, ibuku memberi kabar kalau ayahku terkena stroke dan juga perusahaan ayah bangkrut ditipu dan kami terlilit hutang yang besar sehingga harta yang kami punya harus direlakan untuk membayar hutang dan biaya rumah sakit ayah. Dari detik itu aku melihat peluh ibuku bercucuran demi tawa putra –putrinya. Dari detik itu aku mengetahui arti sebenarnya dari pribahasa kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Ya, itu ibuku. Seorang wanita yang dimanja oleh suaminya, yang selalu berkecukupan, yang tidak pernah berkutat dengan mesin atau listrik dan kini dia harus mengais rejeki, menjadi seorang mekanik saat ada elektronik dirumah yang rusak atau disaat listrik padam, menjadi seorang ibu sekaligus ayah. Ibuku melakukan semua hal yang dia mampu dan tidak mampu agar kami anak-anaknya dapat bersekolah. Dia mengajarkan kami menerima keadaan dan bersyukur. Dia mengajarkanku untuk tidak menyalahkan keluguan ayahku sehingga ia dapat tertipu. Dia memberi contoh pada kami untuk memaafkan orang yang telah menipu ayahku. Dia selalu berkata, “lupakanlah kejahatan orang lain padamu, maafkanlah mereka, doakan dan berterima kasihlah atas apa yang mereka lakukan padamu, dan bersyukurlah kamu mampu memaafkan mereka dan melampaui cobaan ini”. Ibuku mengajarkan kami untuk berbagi dan tidak egois, bahkan disaat kami hanya punya satu roti. Teringat kenangan  pada saat hujan besar dirumahku, hampir terlihat badai. Seorang pemulung bersama anaknya mencoba memanfaatkan atap kecil yang berada di atas pagar rumahku untuk berteduh. aku dan adikku melihat mereka dan tidak kami hiraukan, namun ibuku dari dapur membawa dua buah gelas teh manis hangat. Aku dan  adikku bersorak karena ibuku membuatkan kami teh manis hangat, namun ternyata itu bukan untuk kami namun untuk si pemulung dan anaknya tersebut. Kami bersungut-sungut kesal dan kecewa, namun ibuku hanya tersenyum lalu menarik kami melihat melalui celah jendela. Ibuku berkata, lihat mereka, mungkin yang kita berikan tidaklah seberapa, namun lihat betapa itu sangat dibutuhkan oleh mereka, jadi jangan merasa rugi dan kesal jika memberikan sesuatu kepada orang lain, karena mereka akan membalas kita dengan rasa syukur dan doa. Ibuku sangat-sangat memiliki keyakinan yang kuat mengenai kebaikan dan itu tak terbantahkan dan kamipun percaya.

Ibuku, dia bukanlah super woman seperti di tivi tivi yang sexy, tapi ia mencoba untuk menjadi supermom yang paling hebat. Dia membuang semua rasa malu dan harga dirinya agar kami kenyang. Bertahan dalam kesepian dan tetap setia pada janji pernikahannya. Sepertinya dia melupakan dirinya demi kami, dia tidak perduli jika jarinya terluka ketika memotong bahan – bahan makanan untuk dia jual, dia tidak sadar ketika sandal yang ia gunakan sudah tidak layak menutupi surga yang ada di telapak kakinya, dia melupakan rasa laparnya, dia membuat dirinya tuli akan cemooh orang disekitar, dia lupa kalau dia punya kehidupan selain anak-anaknya. Ah, ibu, jangan salahkan kami jika kami mengagumimu dan kini ijinkan kami mengembalikan hidupmu yang telah lama hilang. Misi kami saat ini adalah membuat tawanya setulus dulu, membuat tangisnya terhenti, mengangkat harga dirinya yang telah jatuh, meletakkan kembali rasa hormat orang – orang padanya, membuka sumpal telinganya agar ia bisa mendengar pujian orang – orang padanya dan memasang kasut pada kakinya untuk melindungi surga itu.

Kami bukan anak – anak hebat dengan segudang prestasi. Kami juga bukan anak jenius yang mampu menciptakan teknologi –teknologi terbaru. Kami tidak memiliki wajah tampan ataupun secantik actor- aktris, atau bahkan miss universe. Kami tidak mampu menjanjikan bintang dan bulan untuk ibu, namun kami akan selalu berusaha untuk menjadi anak kebanggaan ibu dengan cara kami, dengan segenap kemampuan kami, dengan setulus hati kami, dengan semua cinta yang kami miliki untuk ibu sehingga semua air mata dan keringat yang ibu tumpahkan tidaklah sia – sia. Doakan kami, anakmu, ma, supaya kami mampu mengembalikan guratan bahagia itu diwajahmu.

I love U, Ma….

We love U …

Nb:

If you like this essai, please visit this website and press like for me. thank you

http://www.sejutaekspresi.com/tulisan/dia-ibuku/?message=post_success#